Keterbatasan Bukan Halangan Alfian Andhika jadi Lulusan Inklusi UNAIR

Keterbatasan Bukan Halangan Alfian Andhika jadi Lulusan Inklusi UNAIR

Jakarta, Iprahumas - Disabilitas identik dengan berbagai hak-hak istimewa. Mulai dari tempat khusus di fasilitas umum, hingga kemudahan-kemudahan berbagai akses layanan. Namun bagi Alfian Andhika, penyandang tuna netra pertama yang berhasil lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, orang berkebutuhan khusus tidak boleh terbuai oleh itu.

 

Menurutnya, meminta hak dengan mengabaikan kewajiban bukan perjuangan menuju kesetaraan. Tapi malah memperkuat mindset masyarakat, bila kaum difabel itu tidak mampu. Semangat kemandirian tanpa batas lah yang harus terus dinyalakan. Istilah disabilitas mencakup penurunan nilai, pembatasan aktivitas, dan partisipasi atau keterlibatan. Disabilitas berasal dari serapan kata berbahasa Inggris ‘disability’ atau ‘disabilities’ yang menggambarkan adanya ketidakmampuan atau kekurangan yang terdapat pada fisik maupun mental, sehingga menyebabkan terjadinya keterbatasan pada pengidapnya untuk melakukan suatu aktivitas.

 

“Dari namanya saja, kami adalah golongan manusia yang memiliki banyak keterbatasan. Walhasil semua aturan dibuat guna memudahkan kami. Tapi jangan sampai terbuai oleh hak-hak yang diberikan. Dengan hal itu, kesetaraan yang digaungkan oleh kaum difabel malah akan luntur. Mari kita tunjukkan bahwa kita mandiri, bisa menyesuaikan dengan lingkungan serta mampu diandalkan,” ujar Alfian Andhika saat ditemui di rumahnya Jl. Margo Rukun XII, Gundih, Bubutan, Surabaya. Untuk diketahui, Alfian tak mampu melihat sejak bayi. Saat mengandung, ibunya terkena hydrocepalus dan virus toxoplasma. Meski sempat diobati, virus-virus itu menyerang syaraf janin.

 

"Waktu saya bayi usia tiga bulan, saraf mata saya putus sehingga totally blind sampai sekarang." Baginya, mandiri dan mampu menyesuaiakan diri dengan lingkungan menjadi tekad yang dipegang teguh Alfian. Semangat itulah yang membuat anak ke-4 dari 5 bersaudara ini bisa mencapai salah satu cita-citanya yaitu kuliah. “Bagi kami tuna netra, bisa sekolah di sekolah umum merupakan mimpi indah yang menjadi kenyataan,” kata pria yang menyandang tuna netra sejak usia tiga bulan.

Diceritakannya, perjuangannya untuk Jurusan Antropologi FISIP Unair Surabaya pada 2016. Lulusan SMA Negeri 8 Surabaya ini harus berjuang keras dalam meraih cita-citanya. Kebanggaannya itu semakin bertambah, karena Alfian juga berhasil mendapat beasiswa Bidik Misi selama kuliah. Alfian menuturkan, awalnya dia mendaftar di Unair melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) atau jalur undangan berdasarkan prestasi. Berbagai prestasi dimilikinya baik tingkat nasional dan internasional.

 

Ada tiga piagam yang disertakan untuk mendaftar SNMPTN jalur prestasi. Diantaranya, piagam Participant Global IT Challenge Asia Pasific khusus difabel tahun 2015, Juara 2 Global IT Challenge Nasional kategori E-Design grup tahun 2015, dan Juara 1 Olimpiade Sains Nasional (OSN) Matematika tingkat provinsi tahun 2015 untuk difabel. Namun sayangnya, Alfian tidak lolos pada jalur ini. Padahal, teman-teman seangkatan di sekolahnya banyak yang lolos tanpa menyertakan piagam.

Tak menyerah, Alfian mendaftar lagi melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negara (SBMPTN) atau jalur tertulis. Dia mengikuti tes masuk seperti calon mahasiswa lainnya. Namun, di jalur ini, ia juga tidak lolos. Kemudian, ia pun mendaftar di jalur mandiri. Meski sudah daftar di jalur mandiri Unesa, Alfian penasaran apa penyebabnya tidak lolos jalur SNMPTN dan SBMPTN dengan melakukan pertemuan dengan Wakil Dekan 3 FISIP Unair. Dari pertemuan tersebut, Alfian menyimpulkan, jika Unair belum siap menerima mahasiswa penyandang tuna netra seperti dirinya karena tidak memiliki perpustakaan braile. Selain itu, dalam kegiatan belajar mengajar banyak ketakutan dan keraguan bisa memfasilitasi kalangan tuna netra ini.

 

“Padahal saya tidak butuh perpustakaan braile. Saya juga menjelaskan bagaimana penyandang tuna netra bisa membaca materi. Apalagi saat ini di era teknologi, aplikasi pengubah teks tulisan menjadi suara sangat banyak pilihannya,” katanya. Untuk diketahui, di jalur mandiri di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dia mengambil jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB). Setelah diskusi panjang tersebut, Alfian kembali mengikuti tes di Unair, dan diterima dengan kesepakatan tidak boleh menuntut Unair untuk memfasilitasi secara khusus Alfian.

 

Menurutnya, hal itu menjadi evaluasi bersama. Sebab, di Jawa Timur saat ini baru dua kampus yang menerima penyandang tuna netra, yakni Universitas Brawijaya (UB) di Malang dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Diakuinya dia pernah menjajal masuk UB, lolos dalam tahap pertama. Tapi karena alasan jarak, dia memilih untuk tidak melanjutkan proses tes penerimaan tersebut. “Salah satu alasan lain kenapa saya memilih masuk Unair dengan harapan bisa menjadi pembuka jalur difabel di Unair bagi teman-teman tuna netra yang lain,” ungkapnya.

Untuk itu, selama kuliah dia selalu menyempatkan diri melakukan sosialisasi tuna netra yang melek IT di Unair. Dia pernah menjadi pembicara acara sosialisasi website www.makinpintar.com bentukan Unair. Website ramah tuna netra ini bisa menampilkan konten suara. Dia mengatakan, selama ini memanfaatkan IT melalui aplikasi Jaus for Windows yang sangat membantunya untuk belajar. Aplikasi ini mampu mengeluarkan konten suara dari dokumen yang dipindai. Alfian mempelajari aplikasi ini sejak duduk di bangku SMP Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB) Surabaya. Remaja kelahiran Surabaya 30 Oktober 1997 ini menceritakan, dirinya sangat menyukai mata pelajaran sosial yang tidak banyak angka-angka seperti Sosiologi, Bahasa Indonesia, dan Sejarah.

 

“Saat saya kuliah saya memang mencari teman sebanyak-banyaknya agar lebih mudah melakukan sosialisasi. Saya ikut teman-teman yang suka berorganisasi, maupun mereka yang suka bolos. Sebab dengan begini saya merasa bersemangat merasa layaknya teman-teman lain yang tidak mengalami gangguan penglihatan,” katanya.

 

Dalam setiap komunitas atau tempat nongkrong, Alfian memberitahukan kepada teman-temannya jika penyandang tuna netra itu mandiri dan bisa beraktivitas seperti orang normal. Sejak 2014, anak dari pasangan Agus Priyonggo Warsito dan Sri Wahyuningsih ini pun memutuskan untuk bergabung dengan Komunitas Mata Hati. Melalui komunitas ini, Alfian bisa bersosialisasi dengan teman-temannya sesama penyandang tuna netra. Dia kerap melakukan sosialisasi kepada para tuna netra agar lebih mendiri.Alfian juga mengajar membaca Al Quran kepada tuna netra.

 

Meski sudah membuktikan diri mampu mandiri, ia merasakan sikap diskriminatif masih dirasakan lingkungan sekitarnya. Di sisi lain, penyandang tuna netra terkesan terbiasa dengan pola pikir yang bergantung pada pemberian sosial. Akibatnya, banyak yang tak mandiri. Meski begitu, ia tak mau bergantung pada nasib. Pola pikir dan motivasi kuat untuk mandiri melecutnya untuk maju. "Saya sejak SMP sudah suka utak-atik komputer biar bisa, meskipun komputer saya jadi sering rusak," ujarnya.

 

Hal ini membuatnya lebih mudah memanfaat teknologi untuk membantunya dalam belajar dan berkomunikasi dengan orang lain. “Awalnya memang tidak mudah, terlebih saya merupakan penyandang tuna netra pertama yang menempuh studi di FISIP UNAIR. Tapi, hal itu membuat saya tertantang dan ingin bagaimana kampus bisa lebih inklusi lagi,” ujarnya. Alfian resmi menyandang gelar sarjana bersama ratusan lulusan yang diwisuda secara online Periode Juni 2020. Dia berpesan kepada semua pihak bahwa teman-teman yang memiliki keterbatasan bukanlah tidak mampu untuk melakukan banyak hal yang bermanfaat.

 

“Jadi, mari ubah pola fikir bahwa bagi teman-teman yang memiliki keterbatasan, mereka sebenarnya bisa dan mampu, jika diberikan kesempatan yang sama,” ungkap Alfian. (*)

 

Penulis : I Gede Alfian - Bidang Diseminasi

Post Terkait